Rabu, 05 Februari 2014

Pemuka Yang Tak Berdiri Didepan

Pemuka-pemuka negeri yang tak berdiri didepan, mereka berada dalam layar-layar televise atau media lain untuk suarakan politik-politik ala mereka. Ini saatnya Kaum – kaum Intelligentsia harus bertindak , mereka harus bebas diantara arus-arus masyarakat yang kacau, tetapi  tidak melepaskan  fungsi sosialnya  yakni bertindak sesuai fungsi sosialnya ketika keadaan makin mendesak. ketika dengar boleh kata Soe Hok Gie dengan relevansinya bersama keadaan negeri hari ini. (Bekasi, 2 Februari 2014).

Indonesia sekali lagi masuk dalam lubang kotak perpolitikan yang wajib dijalankan semua rakyatnya, Pemilu sebagai ajang demokrasi-nya Indonesia akan digelar. Gong ditabu dan gemuruh kompetisi mulai disuarakan dari partai-partai merah garang sampai merah kemudaan, sibuk cari suara untuk maju ke RI 1 atau wakil-wakil rakyat dilegislatif. Saya tak berpikir janji atau memang harapan nyata dengan upaya keras untuk peralamannya dengan suara – suara lantang dikumandangkan diberbagai media. Sorotan-sorotan lampu coba ditunggangi demi satu kepentingan, tidak mengerti ini kebenaran atau keuangan yang diperjuangkan.
 Politik kini bukan satu yang tabu untuk diperbincangkan mulai dari dikaki warung kopi sampai dengan dikursi-kursi wakil rakyat, Indonesia memang siapkan ladang baru untuk songsong keindahan kemajuan dan kesejahteraan rakyat bumi pertiwi sebagai idaman dan cita-cita sejak founding father hingga era-kini dan disini. Namun, kami menyesal ketika bilang mereka hanya sibuk cari kekuasaan dan kekuasaan adalah kemenangan dengan cara pun walau dengan memangsa manusia sesama. Berpegang pada prinsip, atau akan mengalir terbawa arus - arus kekacauan.
Tercatat seorang wakil rakyat  menteri perdagangan rela mundur karena akan focus dikarir politiknya sebagai peserta pencalonannya sebagai Presiden dan kepentingan golongan atau partainya. Ditengah terjangan isu miring terkait dengan posisi yang dipegang sebelumnya ( Mendag ) impor besar beras illegal, sangat sulit untuk menahan stigma-stigma negatif dengan kenyataan mundurnya beliau dari kursinya. Terhitung berita panas ini sejak ditetapkan mundurnya tanggal 1 februari 2014 (Sabtu) belum juga menemui titik kebenaran, banyak yang beranggapan positif dan suarkan dukungan untuk pencalonan beliau. Sama seperti rekan perjuangan di DPR, Ketua DPR ( MA ) beranggapan ternyata memang ini ujian sebagai calon Presiden untuk menentukan kompetensinya, mulai dari konvensi dan sebagai penyambung lidah rakyat, nyata program ini tidak bertolak belakang malah sinergi buat rakyat-rakyat juga akhirnya. Sekali dayung dua ,tiga kepentingan terkepal ditanggan cara berpikir yang sangat visioner tapi tetap tak berlatarbelakang jelas juga terlihatnya. Seorang Ketua yang memang dengan sindiran tegasnya ini , coba meninggikan tapi kemudian menjatuhkan bawahannya yang sangat disayangkan pergi dari tanggung jawabnya yang masih carut-marut keadaannyadan kaya akan perkara seperti salah satu yang baru terjadi dan tersebut diatas.

Para Pemuka tak lagi berdiri didepan, mereka lebih asyik berakting untuk tinggikan elektabilitas sebagai calon-calon boneka penguasa negeri ini. Kalau sudah nasi terendam terlalu banyak air jadilah ia bubur, maka kini tinggal bergerak menjualnya dipagi hari supaya tidak amat terdampak kerugiannya. Analogi milik saya untuk perbaiki tatanan negeri ini. Jangan biarkan mereka terlelap , biarkan mereka nyaman demi pembaharuan tapi tidak dengan ketamakan dan kekuasaan. Bergerak dan cerdaskan rakyat yang masih amat statis untuk hadapi kedinamisan politik-politik praktis milik partai merah garang hingga kemudaan. Mereka bukan alat untuk permainan, maka ini saatnya kaum-kaum Intelligentsi membuka mata dan tabuh kenderang perang untuk kelaliman. Tugas social menjadi tanggungjawab seorang intelligentsia adalah mengeluarkan pemikiran-pemikiran positif dan mengubah nya menjadi doing yang juga tetap sinergis dari pemikiran, ketika kaum Intelligentsi tetap berdiam dalam keadaan seperti ini sama artinya dengan melunturkan jiwa-jiwa kemanusiaan mereka sendiri. Batu kerikil tak lebih menyakitkan ketika tertancap di banding dengan ucapan kebenaran yang teramat mahal harganya, maka hormatilah. #Opini –INTELLIGENTIKA—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar